Kamis, 28 Februari 2013

Otonomi Daerah



Kebijakan “Otonomi Daerah” (OTDA) sebagaimana gagasannya tertuang pada UndangUndang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional. UU tersebut merupakan keputusan yang pantas disambut baik oleh semua pihak, namun sekaligus juga perlu diamati perkembangannya, dievaluasi dan selalu dikritisi secara terus-menerus agar imlementasinya tidak menyimpang dari “ruh” atau ideologi (kedaulatan, kemandirian, kesejahteraan sosial, demokratisme, keberdayaan) yang hendak diperjuangkannya. Dalam konsepnya, OTDA (sesuai UU 22/1999 dan penyempurnaannya pada UU 32/2004) secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi (kesetaraan, kesejajaran, etika-egalitarianisme), keunggulan lokal, keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak politik masyarakat lokal, kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada semua pihak.  Transparansi ketatapemerintahan dan akuntabilitas publik juga menjadi salah satu maksud diundangkannya UU tersebut. Dalam konteks efektivitas capaian atau kinerja UU, persoalan yang segera muncul adalah: apakah keseluruhan isi UU dapat segera mampu mewujudkan cita-cita di atas pada aras lokal-desa?  Dalam setting geo-sosio-kultural komunitas desa yang sangat beraneka, dapatkah UU OTDA bekerja secara efektif mewujudkan cita-cita luhur tersebut bagi masyarakat? Jika jawabannya “tidak”, maka hal-hal apakah yang perlu diperbaiki?

Petani dan Masalahnya


Pertanian merupakan salah satu prioritas utama pembangunan Pemerintah Indonesia sekarang ini. Pertanian adalah objek yang tentunya membutuhkan subjek untuk menempatkan posisi pertanian dengan sebaik – baiknya dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Subjek tersebut adalah petani yang juga merupakan aktor utama Pembangunan Nasional, Pegawai Negara yang selama ini menyuplai kebutuhan pangan masyarakat. Tetapi kenyataannya, dari dahulu sampai sekarang petani lebih banyak hanya dijadikan objek pembangunan sehingga petani selalu termarginalkan serta tidak bisa mendesain kehidupan dan masa depannya dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari kondisi kebanyakan petani Indonesia yang selalu mengalami keterbatasan modal, keterbatasan akses pasar dan keterbatasan manajemen agribisnisnya. Dengan keterbatasan – keterbatasan tersebut mengakibatkan petani Indonesia kesulitan untuk mengembangkan usaha agribisnisnya dan kurang bisa bersaing dengan petani – petani dari negara lain.
Sekitar 80% penduduk miskin adalah masyarakat yang hidup di daerah perdesaan yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan pertanian. Sehingga dengan meningkatnya harga BBM sekarang maka yang paling menerima dampak tersebut adalah masyarakat perdesaan atau petani. Seiring dengan kenaikan harga BBM maka menyebabkan naiknya harga input pertanian seperti harga pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan biaya transportasi yang berpengaruh pada aktivitas usaha agribisnisnya. Di samping itu kebutuhan hidup keluarga petani, seperti kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan pun naik. Jika kondisi tersebut tidak diantisipasi dengan program pemberdayaan petani yang komprehensif maka dampak lanjutannya adalah semakin menurunnya produktivitas dan kapasitas produksi petani dan pertanian Indonesia yang berakibat  terganggunya ketahanan pangan dan munculnya kerawan pangan serta gejolak sosial yang dasyat.  Jika ketahanan pangan terganggu dan kerawan pangan muncul maka Kebijakan Pemerintah untuk tidak mengimpor beras juga akan terganggu yang akan menyebabkan petani padi / beras akan semakin menderita karena harga padi / berasnya kalah bersaing dengan beras impor baik legal maupun ilegal. Harga gabah dan beras yang sekarang tengah dinikmati petani dalam masa – masa mendatang tidak akan terjadi. Untuk mengatasi problematika tersebut, Pemerintah perlu memberikan perhatian yang serius dalam penguatan agribisnis petani, terutama agribisnis beras yang dikelola kelompok tani atau keluarga tani.